Dibangun pada tahun 1607 oleh Cornelis Matclief de
Jonge (Belanda) dan diberi nama oleh Francois Witlentt path tahun 1609. Benteng
oranye ini semula berasal dari bekas sebuah benteng tua yang dibangun oleh
Bangsa Portugis dan dihuni oleh orang Melayu sehingga diberi nama benteng
Melayu. Dalam benteng ini pernah menjadi pusat pemerintahan tertinggi Hindia
Belanda (Gubernur Jenderal) VOC Pieter Both, Herarld Reyist, Laurenz Reaal dan
J.C Coum. Di benteng ini pula Sultan Mahmud Badarudin II (Sultan Palembang)
diasingkan di Ternate pada tahun 1822 hingga meninggal dunia pada tahun 1852
dan makamnya terletak di perkuburan islam di sebelah barat kelurahan Kalumpang
Ternate. Letak benteng ini berada di pusat kota dengan kondisi fisik masih
utuh, di dalam benteng ini sekarang ditempati oleh kesatuan POLRI dan Angkatan
Darat
jurusan ilmu sejarah
Selasa, 04 Juni 2013
TOKOH SEJARAH SASTRA
Adam Malik
Batubara (lahir di Pematangsiantar, Sumatera Utara, 22 Juli 1917 – meninggal
di Bandung, Jawa Barat, 5 September 1984 pada umur 67
tahun) adalah mantan Menteri Indonesia pada beberapa Departemen,
antara lain ia pernah menjabat menjadi Menteri Luar Negeri. Ia juga pernah menjadi Wakil Presiden Indonesia yang
ketiga. Adam Malik ditetapkan sebagai salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia pada
tanggal 6 November 1998 berdasarkan Keppres Nomor 107/TK/1998.
Ø
Awal mula
Adam Malik adalah
anak dari pasangan Abdul Malik Batubara dan Salamah Lubis. Ayahnya, Abdul
Malik, adalah seorang pedagang kaya di Pematangsiantar. Adam Malik adalah anak
ketiga dari sepuluh bersaudara. Adam Malik menempuh pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School
Pematangsiantar. Ia melanjutkan di Sekolah Agama Madrasah Sumatera Thawalib
Parabek di Bukittinggi, namun hanya satu setengah tahun saja karena
kemudian pulang kampung dan membantu orang tua berdagang.
Keinginannya untuk maju dan berbakti kepada bangsa
mendorong Adam Malik untuk pergi merantau ke Jakarta. Pada usia 20 tahun, ia
bersama dengan Soemanang, Sipahutar, Armijn Pane,
Abdul Hakim, dan Pandu Kartawiguna memelopori berdirinya Kantor Berita Antara.
Ø Karier
Kariernya diawali
sebagai wartawan dan tokoh
pergerakan kebangsaan yang dilakukannya secara autodidak. Di
masa mudanya, ia sudah aktif ikut pergerakan nasional memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia, antara lain melalui pendirian Antara yang
berkantor di JI. Pos Utara 53 Pasar Baru, Jakarta
Pusat. Sebagai Direktur diangkat Soegondo Djojopoespito, dan Adam Malik
menjabat Redaktur
merangkap Wakil Direktur. Dengan modal satu meja tulis tua, satu mesin tulis
tua, dan satu mesin roneo tua, mereka menyuplai berita ke berbagai surat kabar
nasional. Sebelumnya, ia sudah sering menulis antara lain di koran Pelita Andalas
dan Majalah Partindo. Pada tahun 1934-1935, ia memimpin Partai Indonesia
(Partindo) Pematang Siantar dan Medan. Pada tahun
1940-1941 menjadi anggota Dewan Pimpinan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) di
Jakarta. Pada 1945, menjadi anggota Pimpinan Gerakan Pemuda untuk persiapan
Kemerdekaan Indonesia di Jakarta.
Di zaman penjajahan
Jepang, Adam Malik juga aktif bergerilya dalam gerakan pemuda
memperjuangkan kemerdekaan. Menjelang 17 Agustus 1945, bersama Sukarni, Chaerul Saleh, dan Wikana, ia pernah
membawa Bung
Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Demi mendukung
kepemimpinan Soekarno-Hatta, ia menggerakkan rakyat berkumpul di lapangan
Ikada, Jakarta.
Mewakili kelompok
pemuda, Adam Malik sebagai pimpinan Komite Van Aksi, terpilih sebagai Ketua III
Komite Nasional Indonesia Pusat
(1945-1947) yang bertugas menyiapkan susunan pemerintahan. Selain itu, Adam
Malik adalah pendiri dan anggota Partai Rakyat, pendiri Partai Murba, dan anggota parlemen. Tahun 1945-1946
ia menjadi anggota Badan Persatuan Perjuangan di Yogyakarta. Kariernya semakin
menanjak ketika menjadi Ketua II Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP),
sekaligus merangkap jabatan sebagai anggota Badan Pekerja KNIP. Pada tahun
1946, Adam Malik mendirikan Partai Rakyat, sekaligus menjadi anggotanya.
1948-1956, ia menjadi anggota dan Dewan Pimpinan Partai Murba. Pada tahun 1956,
ia berhasil memangku jabatan sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI)
yang lahir dari hasil pemilihan umum.
Karier Adam Malik
di dunia internasional terbentuk ketika diangkat menjadi Duta Besar
luar biasa dan berkuasa penuh untuk negara Uni Soviet
dan Polandia. Pada tahun 1962,
ia menjadi Ketua Delegasi Republik Indonesia untuk perundingan Indonesia
dengan Belanda
mengenai wilayah Irian Barat di Washington D.C, Amerika Serikat. Yang kemudian
pertemuan tersebut menghasilkan Persetujuan Pendahuluan mengenai Irian Barat.
Pada bulan September 1962, ia menjadi anggota Dewan Pengawas Lembaga di lembaga
yang didirikannya,yaitu Kantor Berita Antara. Pada tahun 1963, Adam Malik
pertama kalinya masuk ke dalam jajaran kabinet, yaitu Kabinet yang bernama Kabinet
Kerja IV sebagai Menteri Perdagangan sekaligus
menjabat sebagai Wakil Panglima Operasi ke-I Komando Tertinggi Operasi Ekonomi
(KOTOE). Pada masa semakin menguatnya pengaruh Partai Komunis Indonesia, Adam Malik
bersama Roeslan Abdulgani dan Jenderal Abdul Haris Nasution dianggap sebagai musuh
PKI dan dicap sebagai trio sayap kanan yang kontra-revolusi.
Ketika terjadi
pergantian rezim pemerintahan Orde Lama, posisi Adam Malik yang berseberangan dengan kelompok kiri
justru malah menguntungkannya. Tahun 1966, Adam disebut-sebut dalam trio baru Soeharto-Sultan-Malik.
Pada tahun yang sama, lewat televisi, ia menyatakan keluar dari Partai Murba
karena pendirian Partai Murba, yang menentang masuknya modal asing. Empat tahun
kemudian, ia bergabung dengan Golkar. Pada tahun 1964, ia mengemban tanggung jawab sebagai
Ketua Delegasi untuk Komisi Perdagangan dan Pembangunan di PBB. Pada tahun 1966,
kariernya semakin gemilang ketika menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri II
(Waperdam II) sekaligus sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia di kabinet Dwikora II.
Karier murninya
sebagai Menteri Luar Negeri dimulai di kabinet
Ampera I pada tahun 1966. Pada tahun 1967, ia kembali memangku jabatan
Menteri Luar Negeri di kabinet Ampera II. Pada tahun 1968,
Menteri Luar Negeri dalam kabinet Pembangunan I, dan tahun 1973 kembali
memangku jabatan sebagai Menteri Luar Negeri untuk terakhir kalinya dalam kabinet Pembangunan II. Pada tahun 1971, ia
terpilih sebagai Ketua Majelis Umum PBB ke-26, orang Indonesia pertama
dan satu-satunya sebagai Ketua SMU PBB. Saat itu dia harus memimpin persidangan
PBB untuk memutuskan keanggotaan RRC di PBB yang
hingga saat ini masih tetap berlaku. Karier tertingginya dicapai ketika
berhasil memangku jabatan sebagai Wakil Presiden RI yang diangkat
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
di tahun 1978. Ia merupakan Menteri Luar Negeri RI di urutan kedua yang cukup
lama dipercaya untuk memangku jabatan tersebut setelah Dr. Soebandrio.
Sebagai Menteri Luar Negeri dalam pemerintahan Orde Baru,
Adam Malik berperanan penting dalam berbagai perundingan dengan negara-negara
lain termasuk penjadwalan ulang utang Indonesia peninggalan Orde Lama. Bersama
Menteri Luar Negeri negara-negara ASEAN, Adam Malik memelopori
terbentuknya ASEAN tahun 1967.
Sebagai seorang diplomat, wartawan bahkan birokrat, Adam Malik
sering mengatakan “semua bisa diatur”. Sebagai diplomat ia memang dikenal
selalu mempunyai 1001 jawaban atas segala macam pertanyaan dan permasalahan
yang dihadapkan kepadanya. Tapi perkataan “semua bisa diatur” itu juga
sekaligus sebagai lontaran kritik bahwa di negara ini “semua bisa di atur”
dengan uang.
Setelah
mengabdikan diri demi bangsa dan negaranya, H.Adam Malik meninggal di Bandung pada 5
September 1984 karena kanker lever. Kemudian, isteri
dan anak-anaknya mengabadikan namanya dengan mendirikan Museum Adam Malik.
Pemerintah juga memberikan berbagai tanda kehormatan. Atas jasa-jasanya, Adam
Malik dianugerahi berbagai macam penghargaan, diantaranya adalah Bintang
Mahaputera kl. IV pada tahun 1971, Bintang Adhi Perdana kl.II pada tahun 1973,
dan diangkat sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1998.
Selasa, 21 Mei 2013
Benteng Tolukko
Benteng ini dibangun atas
perintah francisco Serro, seorang portugis, pada tahun 1540. nama lain benteng
ini adalah Santo Lucas. Pada tahun 1610 benteng ini dikuasai Belanda dan
direnovasi oleh Gubernur pieter Both. namanya diganti menjadi Benteng Hollandia. pada tahun 1661 pemerintah
VOC mengizinkan Sultan Mandarsyah untuk menempatinya bersana dengan 160 orang
pasukan. pada tahun 1692 namanya di ganti nenjadi benteng tolokko, sesuai dengan nama anak sultan yang berkuasa
pada saat itu.
Langganan:
Postingan (Atom)